SEJARAH PEMBANGUNAN MONUMEN PERJOANGAN RAKYAT BERSAMA PELAJAR PEJOANG
Seiring dengan pembangunan Monumen Mase TP SA/CSA yang berupa kompleks Gedung Sekolah Menengah Pertama dengan segala-kelengkapannya di Kragilan yang telah diresmikan penyerahannya kepada: P & K pada tanggal 14 Nopember 1981, telah dimulai juga pada tanggal 6 September 1981 peletakan batu pertama. Pertama membangun sebuah monumen yang dinamakan Monumen Perjoangan Rakyat Bersama Pelajar Pejoang di Tlatar Boyolali yang letaknya kurang lebih 7 km dari Kragilan.
Pada intinya pembangunan monumen tersebut adalah selain sebagai pengejawantahan dari ikrar bersama teman-teman eks Tentara Pelajar SA/CSA yang menyatakan bahwa selama hayat masih dikandung badan akan selalu ikut memikirkan dengan perbuatan yang nyata bagaimana mengangkat derajat bangsa pada umumnya dan khususnya rakyat dimana dalam perang kemerdekaan dahulu daerahnya ditempati sebagai basis perang gerilya.
"Keikhlasan dan pengorbanan rakyat berupa jiwa, harta-benda dan kehormatan tidak akan dapat dilupakan"
Karena dalam masa pembangunan ini merekapun ingin maju dan tidak mau kalah dengan rakyat yang berada di kota dengan fasilitas yang jauh lebih baik maka dengan semangat dan cara yang paling sederhana timbullah kearifan dari mereka mencetuskan gagasan membangun gedung Sekolah Menengah Umum bagian Atas dan melalui Bapak Bupati/KDH Tk. II Boyolali mengajukannya kepada teman-teman eks Tentara Pelajar SA/CSA.
Mengapa justru gagasan tersebut diajukan kepada eks Tentara Pelajar SA/CSA ialah karena rakyat sudah merasa paling dekat dan selain sudah merasa manunggal juga menganggap bahwa Eks -Tentara Pelajar SA/CSA adalah pahlawan mereka.
Rakyat dari 9 Kelurahan disekitar daerah Tlatar tidak bertepuk tangan sebelah karena gagasan ini ditanggapi dan langsung ditangani bersama sehingga terwujutlah kini sebuah monumen yang sederhana dengan nama. Monumen. Perjoangan Rakyat Bersama Pelajar Pejoang berupa sebuah patung beserta gedung sekolah yang tidak hanya dipakai sebagai tempat pendidikan formal tetapi juga untuk pendidikan non formal khusus untuk masyarakat desa.
Dengan semangat kegotong-royongan dan rasa kemanunggalan maka sarana untuk pembangunan monumen ini yang tidak hanya berupa uang tetapi juga bahan bangunan bahkan tenaga dapat dikumpulkan dari rakyat 9 Kelurahan di sekitar Desa Tlatar yaitu Desa Kebonbimo, Mudai, Dlingo, Siwal, Pager, Kener, Udanuwuh, Kradenan maupun pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali berupa tanah seluas ± 3 ha. dan segala fasilitas kemudahan mendapatkan izin dan bantuan yang diperlukan.
Begitu pula dari teman-teman seperjoangan seperti dari bekas Tentara Pelajar dan bekas Pelajar Pejoang Bersenjata lainnya pada umumnya dan khususnya Tentara Pelajar SA/CSA sendiri.
Tidak mau ketinggalan juga para Dermawan ataupun Usahawan yang bersimpati dengan secara spontan menyisihkan sebagian dari pendapatannya ataupun produksinya dan disumbangkan untuk pembangunan monumen ini sehingga dengan demikian alhamdullilah dapatlah berdiri Gedung Sekolah ini dengan 12 (dua belas) ruang kelas, 2 (dua) ruang laboratorium, ruang perpustakaan, kantor, gudang, koperasi, usaha kesehatan sekolah, aula terbuka, lapangan olah raga, kelengkapan sekolah, listrik dan saluran air yang kesemuanya sudah sesuai dengan standard P & K.
Mengapa dipilih pembangunan Sekolah Menengah Umum Bagian Atas ialah karena berdasarkan beberapa faktor yaitu :
Pertama: Pembangunan Negara dimulai dari mencerdaskan bangsa sebagai dasarnya sehingga pembangunan gedung sekolah ini dapat dianggap sebagai peletakan landasan bagi pembangunan tersebut. Pendidikan dalam hal ini merupakan suatu prasarana bagi investasi moral dan mental untuk menyongsong pembangunan, berpatisipasi dalam pembangunan maupun mengenyam hasil pembangunan itu sendiri.
Kedua: Sesuai dengan G.B.H.N. , dalam Pelita III ini ditetapkan antara lain pemerataan mendapatkan kesempatan pendidikan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Kesempatan inilah yang ingin kami buka bagi anak-anak/ masyarakat desa untuk bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dengan biaya murah dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, supaya merekapun maju sebanding dan sejajar dengan Saudara-saudaranya di kota yang mempunyai fasilitas lebih lengkap dan sempurna.
Ketiga: Dikala kita semua menyandang senapan dalam menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan terutama dalam perang gerilya melawan penjajah, maka disaat-saat senggang kita selalu merindukan bangku sekolah dan saling menguraikan cita-cita masing-masing dikaitkan dengan bila perang kemerdekaan selesai. Maklumlah karena diwaktu itu kebanyakan dari kita masih duduk dibangku sekolah SMP dan SMA.
Keempat: Daerah Boyolali masih kekurangan sekolah SMA dan ternyata bahwa potensi maupun kemampuan rakyat Tlatar memungkinkan pembangunannya.
Dengan dasar penilaian pemrakarsa tersebut diatas maka rakyat dari 9 Kelurahan yang ikut memeras keringat dan mengurangi kebutuhan hidup sendiri ikut serta aktif dan mempunyai saham besar dalam membangun gedung sekolah ini menghimbau pada yang diserahi pengelolaan sekolah nanti, dalam hal ini P & K, untuk terlebih dahulu memprioritaskan anak-anak didik dari daerah sekitar desa Tlatar ini terutama dari 9 Kelurahan tersebut diatas untuk diterima sebagai siswa di SMA Tlatar ini dengan tidak meninggalkan penilaian kemampuan dan kesanggupan anak didik.
Supaya maksud dan cita-cita pemrakarsa dapat dikenang maupun tujuan pembangunan sekolah ini dapat dicapai maka digedung sekolah ini terpampang sebuah "SURYO SANGKOLO" tertulis dalam bahasa Jawa kuno yang berbunyi : BHAKTI MANGGALA WIWARANING RON
yang dapat diartikan sebagai berikut:
Dengan demikian Bhakti Manggala Wiwaraning Ron dapat diterjemahkan :
"Semoga Darma Bakti Tentara Pelajar atau Pelajar Pejoang Bersenjata dapat mencapai pintu gerbang untuk maju bagi generasi penerus".
Kalimat Bhakti Manggala Wiwaraning Ron dapat juga dipakai sebagai pedoman tahun pembangunan monumen ini yaitu :
Mengingat tujuan dari pembangunan monumen ini maka gedung sekolah ini akan dipergunakan seefisien mungkin yaitu tidak hanya untuk pendidikan formal tetapi juga non formal.
Yang dimaksud dengan pendidikan non formal ialah bahwa gedung sekolah ini dapat diatur sebegitu rupa sehingga masyarakat desa dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan pendidikan ketrampilan, kebudayaan dan penerangan demi kemajuan desa.
Sehingga dengan demikian kompleks gedung sekolah ini dapat dipakai sebagai pusat memancarkan pendidikan maupun kebudayaan ke pelosok desa.
Pertimbangan dalam memilih lokasi desa Tlatar untuk pembangunan monumen ini meliputi beberapa aspek nostalgia yang sukar untuk dilupakan,
1. Tlatar sebagai pasat pertemuan karena adanya mata air/umbul
Markas kompi I yang dipimpin oleh Saudara Moektio memang bukan terletak di Tlatar tetapi di Kentengsari Kelurahan Kener lengkap dengan pasukan pengawalnya. Pasukan lainnya yang terdiri dari seksi I yang dipimpin oleh Mas Yono berada di sekitar Kelurahan Metuk, Dlingo dan Mudal. Sedangkan seksi II yang dipimpin oleh Mbah Nardi Kebo berada di Kelurahan Kebon Bimo dan Ngargosari. Tetapi sering juga berpindah di Kelurahan Siwal, Pager, Udanuwuh dan sesekali di Kradenan. Ada lagi satu pasukan gabungan yang dipimpin oleh Saudara Heru Santosa.
Daerah operasi kompi I meliputi sepanjang jalan* Tengaran, Ampel, Boyolali, Mojosongo, Teras, Banyudono, Kartosuro. Hal tersebut karena sudah menjadi tugas dari pimpinan, untuk mematakan garis logistik tentara Belanda yang menuju ke Sala. Setiap kali bila tidak ada pekerjaan menghadang iring-iringan angkutan Belanda (konver) atau mengganggu markas/pos. Belanda maupun melawan patroli Belanda, maka kesempatan ini selaki dipergunakan untuk, bercengkerama di Umbul Tlatar sambil berenang dan mencuci pakaian sampai kering, dan tidak lupa sambil mencari kutu baju. Maaf pakaian kita hanya yang melekat dibadan saja atau dalam bahasa Jawa Tok mbiji (celana satu baju satu). Kesempatan mandi ini dipergunakan juga untuk mencari ikan.atau udang kecir untuk lauk. Bercengkerama di umbul ini akan bubar tidak hanya karena ada. kabar patroli Belanda datang, tetapi dengan, kedatangannya: seorang wanita gila yang langsung mendekati teman-teman terutama yang wajahnya ngganteng sambil menyanyikan lagu dengan syair yang menggelikan.
2. TNI - Bangun
Secara tidak resmi Tlatar menjadi tempat berkumpulnya teman-teman dari Seksi I.U maupun pasukan staff dekking sehingga Belanda mengira bahwa Tlatar adalah Markas Besar dari pasukan Moektio. Dengan anggapan inilah maka disekhar pertengahan bulan. Juli 1949 atau tepatnya Sabtu Paing tanggaL 14 Juli 1949 pagi-pagi buta dari Boyolali dengan melewati sebagian dari pasukan Mbah Nardi yang berada didesa Karang Tengah, Kebon Bimo dan Gatak, pasukan Belanda sebanyak 1(satu) kompi telah muncul mengepung desa Tlatar dengan hanya memberi kesempatan lari kejurusan Umbul yang dihujani dengan peluru mortir.
Korban yang jatuh adalah 7 orang diantara penduduk, beberapa rumah dibakar, habis, harta benda yang kiranya berharga dibawa begitu pula hewan. Ternyata Belanda tidak bisa mendapatkan yang dikehendaki yaitu menghancurkan pasukan Moektio. Peristiwa ini yang pada waktu perang gerilya dahulu tersohor dengan nama TNI - Bangun oleh penduduk desa dinamakan Perang pru-putan yang berarti perang pagi-pagi buta.
Selang beberapa minggu.dengan cara yang lebih dahsyat lagi markas kompi I yang berada dii Kentengsari betul-betul diserang dan dikepung dari beberapa jurusan oleh Belanda yang datang dari Simo dan Bangak. Seorang penduduk dan seorang anggauta dari pasukan pengawal staf gugur di desa Udan Uwuh.
3. Kepahlawanan masyarakat desa disekitar Tlatar
Dengan alat-alat yang sederhana dan pengawalan dari pasukan Mbah Nardi Kebo, masyarakat desa disekitar Tlatar dibawah pimpinan pemuda Tlatar sendiri telah berhasil membongkar jembatan darurat Belanda di Kenteng dalam 1 (satu) malam sehingga jalur logistik Belanda terhenti sampai dapat diperbaiki lagi. Pembongkaran/perusakan jembatan Kenteng diulangi lagi untuk kedua kalinya tetapi gagal dan menelan 2 (dua) orang penduduk Tlatar gugur.
Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah maka dibangun gedung SMA ini beserta sebuah patung sebagai monumen dan selanjutnya dinamakan Monumen Perjoangan Rakyat Bersama Pelajar Pejoang. Oleh rakyat patung yang melukiskan bagaimana eratnya Tentara Pelajar berjuang bahu-membahu dengan rakyat lelaki maupun perempuan dinamakan Patung Pruputan untuk memperingati perang Pruputan (pagi-pagi buta) yang menelan banyak korban.
Tentunya akan timbul pertanyaan mengapa dinamakan Monumen Perjoangan Rakyat Bersama Pelajar Pejoang dapatlah diterangkan sebagai berikut :
Kebetulan didaerah sebelah utara Boyolali ini diwaktu perang gerilya ditempati oleh Tentara Pelajar SA/CSA maka perjoangan rakyat melawan agresi Belanda dengan sendirinya bersama-sama Tentara Pelajar SA/CSA. Karena selain Tentara Pelajar SA/CSA banyak juga para pelajar yang menggabung di Kesatuan tentara, KODM ataupun Palang Merah kiranya tidak tepatlah bila hanya disebut Tentera Pelajar SA/CSA saja tetapi lebih mengena bila dicantumkan Pelajar Pejoang.
Sampai dapatnya dibangun monumen ini juga atas perjoangan gigih dari rakyat yang pelaksanaannya dibantu penuh oleh bekas Pelajar Pejoang terutama dari T. P. SA/CSA. Perjoangan bagaimana mendapatkan dukungan Pemerintah Daerah, dukungan dari teman-teman, bagaimana menggali potensi dan kemampuan masyarakat untuk mewujutkan pembangunan monumen. Perjoangan memang tak ada habisnya. Dalam perjoangan selalu dituntut kesediaan pengorbanan untuk memberikan darma bakti. Perjoangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan adalah perjoangan suci. Perjoangan membangun negara dan bangsa adalah suatu kewajiban yang mempunyai nilai kemuliaan dan keluhuran. Hakekat dan nilai kesucian, kemuliaan dan keluhuran ini hendaknya dapat dipertahankan dan dilindungi sehingga dapat diwariskan pada generasi yang lebih muda.
Alhamdulillah berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan doa restu Saudara sekalian maka pembangunan Monumen Perjoangan Rakyat Bersama Pelajar Pejoang ini dapat diselesaikan dalam waktu 10 (sepuluh) bulan dan resmi diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Boyolali yang selanjutnya akan menyerahkan pengelolaannya kepada Departemen P & K pada tanggal 19 Juni 1982. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para dermawan baik dari kalangan Pemerintah, para Pengusaha maupun dari kalangan bekas Pelajar Pejoang sendiri dan terutama bagi masyarakat desa dari 9 Kelurahan atas segala bantuan berupa apa saja sehingga pembangunan monumen ini dapat terlaksana.
Semoga dharma baktinya mendapatkan pahala dari Allah swt. Amin.
Sejak saat itu pergantian pimpinan sekolah sebagai berikut :
1. Tahun 1982 - 1987 dipimpin oleh Alm. Bapak Priyono, BA
2. Tahun 1987 dipimpin oleh Alm.Bapak Supono, BA
3. Tahun 1987 - 1989 dipimpin oleh Alm. Bapak Engan Hermanto, BA
4. Tahun 1989 - 1994 dipimpin oleh Alm. Bapak Soeleman, BA
5. Tahun 1994 - 1998 dipimpin oleh Alm. Ibu Padni Padmini, BA
6. Tanggal 1 Agustus 1998 s/d 31 Agustus 2002 dipimpin oleh Bapak E.J. Soemarsono, S.Pd.
7. Tanggal 11 Mei 2003 s/d 2 Mei 2006 dipimpin oleh Bapak Drs. Tri Wahyudi
8. Tanggal 11 Mei 2006 s/d 21 Maret 2007 dipimpin oleh Alm. Bapak Sudiyo, S.Pd.
9. Tanggal 21 Maret 2007 s/d 28 Oktober 2010 dipimpin oleh Bapak H. Sumadi, S.Pd.
10 . Tanggal 28 Oktober 2010 s/d 13 Agustus 2012 dipimpin oleh Bapak Sarono, S.Pd.
11. Tanggal 13 Agustus 2012 s/d 31 Agustus 2017 dipimpin oleh Bapak Drs. Makno, MH.
12. Tanggal 1 September 2017 dipimpin oleh Bapak Drs. Agung Wardoyo selaku Pelaksana Tugas Harian
13. Bapak Suyanta, S.Pd., M.Pd. Tahun 2018
14. Bapak Bambang Prihantoro, S.Pd., M.M. selaku Pelaksana Tugas Harian
15. Bapak Drs. Agung Wardoyo Tahun 2019 - 2022
16. Bapak Bambang Prihantoro, S.Pd., M.M. selaku Pelaksana Tugas (PLT) Harian (2021/2022)
17. Bapak Teguh Rahayu Slamet, S.Pd., M.Pd. Kepala Sekolah aktif saat ini